Wakaf Uang di Sukabumi Dituding Sarat Konflik Kepentingan, Walikota Dinilai Langgar Syariat dan Etika Publik
SUKABUMI," metroexpost.com - Program Wakaf Uang yang digagas oleh Pemerintah Kota Sukabumi kembali menjadi bahan sorotan tajam dari berbagai kalangan. Salah satu kritik datang dari praktisi moslempreneur, Budi Lesmana, yang dikenal luas dengan sapaan Budi Gondrong (BG). Ia menilai pelaksanaan program tersebut tidak hanya menyimpang dari syariat Islam, tetapi juga mengandung potensi penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power), saat dimintai tanggapannya terkait hal itu lewat pesan WhatsApp Rabu 23 April 2025.
Dalam pernyataan publiknya, BG menyampaikan bahwa walikota tidak memiliki kewenangan syar’i dalam menentukan struktur pelaksanaan wakaf. Ia menyoroti bahwa wali kota Ayep Zaki menunjuk sendiri Yayasan Pendidikan dan Pengembangan Dakwah Binaul Ummah (YPPDB) sebagai nazir dalam program tersebut—padahal dirinya juga merupakan founder yayasan tersebut.
“Dalam rukun wakaf, tidak ada peran walikota. Yang sah dalam akad wakaf hanyalah wakif (pemberi wakaf), nazir (pengelola), dan mauquf ‘alaih (penerima manfaat). Jika walikota bertindak sebagai penentu nazir, itu sudah masuk wilayah yang tidak seharusnya,” tegas BG.
Berdasarkan Pasal 6 Ayat 3 dalam Perjanjian Kerja Sama (PKS) antara Pemkot Sukabumi dan YPPDB, disebutkan bahwa mauquf ‘alaih atau penerima manfaat akan ditentukan kemudian oleh nazir. BG menilai hal ini menyalahi prinsip dasar wakaf, di mana pihak penerima manfaat seharusnya sudah jelas sejak awal akad.
“Ini mengindikasikan bahwa wakaf uang sudah berjalan sebelum jelas siapa nazirnya, dan siapa yang menerima manfaatnya. Padahal menurut syariat, semua itu harus ditentukan secara sah sebelum akad dilakukan,” lanjutnya, merujuk pada Pasal 5 Ayat 6 PKS yang menyebut bahwa pengumpulan dana sudah dilakukan terlebih dahulu.
BG juga mempertanyakan integritas proses pengumpulan dana wakaf yang dilakukan melalui kanal QRIS dan melibatkan ASN, tenaga honorer, karyawan BUMD dan BLUD. Ia menduga ada unsur tekanan birokrasi yang membuat para pegawai merasa “wajib” berpartisipasi demi menunjukkan loyalitas kepada pimpinan.
“Banyak wakif yang tidak memahami bahwa yang mereka lakukan adalah wakaf uang. Motivasi mereka lebih kepada mengikuti perintah atau instruksi, karena takut dicap membangkang. Ini sudah bertentangan dengan prinsip dasar wakaf yang mensyaratkan keikhlasan,” tambahnya.
Lebih jauh, BG menilai tindakan walikota dalam menunjuk yayasan miliknya sebagai nazir merupakan bentuk konflik kepentingan yang nyata. Menurutnya, tindakan ini mencederai prinsip transparansi dan akuntabilitas publik.
“PKS dilakukan antara Ayep Zaki sebagai Walikota dan Ayep Zaki sebagai Founder YPPDB. Ini jelas konflik kepentingan. Jika niatnya untuk menegakkan syariat, mengapa harus menentukan sendiri siapa yang jadi nazir?” ujarnya.
Sebagai penutup, BG menekankan bahwa program wakaf yang ingin dijadikan amaliyah syar’iyyah harus memenuhi unsur syariat, etika, dan tata kelola pemerintahan yang baik. Ia berharap program keagamaan tidak dijadikan alat politik atau penguat kekuasaan.
“Jika niatnya benar-benar untuk kepentingan ummat dan karena Allah, maka semua prosesnya harus dilakukan sesuai dengan ketentuan syariat, bukan ditumpangi kepentingan pribadi atau jabatan,” tandasnya.
Penulis:Nald